Ada dua jalur yang bisa ditempuh dalam mengurus serfikat halal suatu produk: jalur reguler dan jalur pernyataan mandiri atau yang lebih populer dengan self declare. Sertifikat halal reguler diperuntukkan bagi seluruh skala usaha mulai usaha mikro, kecil, menengah hingga besar. Sementara sertifikat halal self declare diperuntukkan bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Self declare merupakan pernyataan status halal produk UMK oleh pelaku usaha itu sendiri.
Persyaratan pernyataan mandiri (self-declare) oleh UMK diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2021 tentang Sertifikasi Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (Permenag 20/2021). Petunjuk Teknis tentang self declare juga tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH No. 33 Tahun 2022 tentang Juknis Pendamping Proses Produk Halal dalam Penentuan Kewajiban Bersertifikat Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil yang Didasarkan atas Pernyataan Pelaku Usaha.
Dikutip dari laman kemendag.go.id, berikut syarat-syarat sertifikasi halal bagi UKM lewat mekanisme self-declare:
Berikut daftar persyaratan sertifikasi halal gratis bagi pelaku usaha kecil kategori self-declare:
1. Produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya;
2. Proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana;
3. Memiliki hasil penjualan tahunan (omset) maksimal Rp 500 juta yang dibuktikan dengan pernyataan mandiri dan memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp 2 miliar rupiah;
4. Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB);
5. Memiliki lokasi, tempat, dan alat proses produk halal (PPH) yang terpisah dengan lokasi, tempat, dan alat proses produk tidak halal;
6. Memiliki atau tidak memiliki surat izin edar (PIRT/MD/UMOT/UKOT), Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk produk makanan/minuman dengan daya simpan kurang dari tujuh hari atau izin industri lainnya atas produk yang dihasilkan dari dinas/instansi terkait.
7. Memiliki outlet dan/atau fasilitas produksi paling banyak 1 (satu) lokasi;
8. Secara aktif telah berproduksi satu tahun sebelum permohonan sertifikasi halal;
9. Produk yang dihasilkan berupa barang (bukan jasa atau usaha restoran, kantin, catering, dan kedai/rumah/warung makan);
10. Bahan yang digunakan sudah dipastikan kehalalannya. Dibuktikan dengan sertifikat halal, atau termasuk dalam daftar bahan sesuai Keptusan Menteri Agama Nomor 1360 Tahun 2021 tentang Bahan yang dikecualikan dari Kewajiban Bersertifikat Halal;
11. Tidak menggunakan bahan yang berbahaya;
12. Telah diverifikasi kehalalannya oleh pendamping proses produk halal;
13. Jenis produk/kelompok produk yang disertifikasi halal tidak mengandung unsur hewan hasil sembelihan, kecuali berasal dari produsen atau rumah potong hewan/rumah potong unggas yang sudah bersertifikasi halal;
14. Menggunakan peralatan produksi dengan teknologi sederhana atau dilakukan secara manual dan/atau semi otomatis (usaha rumahan bukan usaha pabrik);
15. Proses pengawetan produk yang dihasilkan tidak menggunakan teknik radiasi, rekayasa genetika, penggunaan ozon (ozonisasi), dan kombinasi beberapa metode pengawetan (teknologi hurdle);
16. Melengkapi dokumen pengajuan sertifikasi halal dengan mekanisme pernyataan pelaku usaha secara online melalui SIHALAL.
Namun Setelah merebak kasus minuman beralkohol bersertifikat halal pada Agustus 2023 lalu, ditambah lagi dengan video viral tentang produk yang menyalahi fatwa MUI pada tahun ini, proses sertifikasi jalur self declare menuai banyak kritik
Setelah kasus Wine Nabidz bersertifikat halal merebak pada Agustus 2023 lalu, kini di bulan September 2024 merebak kembali kasus yang kurang lebih sama. Sebuah video yang menginformasikan adanya produk dengan nama tuyul, tuak, beer, dan wine bersertifikat halal. Oleh MUI dikatakan bahwa produk-produk menyalahi fatwa MUI. Tudingan ditujukan pada sertifikasi halal jalur self-declare yang dikeluarkan oleh BPJPH Kemenag RI. Sertifikasi halal melalui jalur pernyataan mandiri (self-declare) pun mendapat sorotan oleh banyak pihak.
Dikutip dari laman halalcorner, Aisha Maharani, Founder Halal Corner menyampaikan beberapa poin kelemahan dari Halal Self Declare antara lain:
1. Tidak ada audit dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
2. Rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
3. Dapat mengurangi kepercayaan internasional terhadap standar produk halal Indonesia.
4. Minimnya pengawasan terhadap produk yang menggunakan jalur Self Declare memungkinkan produk dengan kandungan non-halal lolos sertifikasi.
Kasus-kasus yang muncul terkait sertifikasi halal melalui jalur Self Declare menunjukkan bahwa sistem ini masih memerlukan banyak perbaikan, terutama dari segi pengawasan dan verifikasi. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, menjaga integritas sistem sertifikasi halal sangat penting, baik untuk kepercayaan masyarakat dalam negeri maupun untuk menjaga reputasi produk halal Indonesia di kancah internasional.
Dikutip dari laman halalcorner, Aisha Maharani, Founder Halal Corner menyampaikan beberapa poin kelemahan dari Halal Self Declare antara lain:
1. Tidak ada audit dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
2. Rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
3. Dapat mengurangi kepercayaan internasional terhadap standar produk halal Indonesia.
4. Minimnya pengawasan terhadap produk yang menggunakan jalur Self Declare memungkinkan produk dengan kandungan non-halal lolos sertifikasi.
Kasus-kasus yang muncul terkait sertifikasi halal melalui jalur Self Declare menunjukkan bahwa sistem ini masih memerlukan banyak perbaikan, terutama dari segi pengawasan dan verifikasi. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, menjaga integritas sistem sertifikasi halal sangat penting, baik untuk kepercayaan masyarakat dalam negeri maupun untuk menjaga reputasi produk halal Indonesia di kancah internasional.
0 Komentar