Fenomena Kotak Kosong Pilkada 2024

 


Kotak kosong muncul ketika hanya ada satu pasangan calon kepala daerah yang maju dalam pemilu. Dalam pilkada serentak 2024 terdapat 38 daerah yang memiliki paslon tunggal sehingga dipastikan akan melawan kotak kosong.


Sepanjang Pilkada serentak 2015, 2018, dan 2020, tingkat kemenangan paslon tunggal mencapai 98,11 persen. Fenomena paslon tunggal yang muncul pada Pilkada 2024 ini tidak terlepas dari dinamika politik yang kompleks.Partai-partai besar lebih memilih untuk membentuk koalisi yang kuat, sehingga mengakibatkan calon independen dan partai kecil kesulitan untuk bersaing. Fenomena paslon tunggal ini memunculkan berbagai tantangan bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Terutama menurunnya partisipasi pemilih, potensi munculnya kekuatan politik yang dominan tanpa pengawasan ketat, serta penurunan kualitas demokrasi secara keseluruhan.


Pilkada 2024 akan menjadi pemilihan dengan jumlah kotak kosong terbanyak sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati , kotak kosong pertama kali digunakan dalam kontestasi pilkada pada tahun 2015 (BBCNews 31/08/2024).


"Awalnya dari Mahkamah Konstitusi. Ada semacam kebuntuan, ada partai-partai yang mengusung satu pasangan calon saja, apa yang harus dilakukan? Sehingga pada waktu itu, dibawa ke MK."


"MK yang memutuskan, kalau pada masa pendaftaran yang terdaftar hanya satu pasangan calon, MK menyatakan bahwa masa pendaftarannya bisa dibuka lagi. Kalau setelah dibuka lagi tidak ada yang mendaftar, partai politik tidak mengalihkan dukungannya, ada yang namanya kotak kosong."


"Jadi di surat suara itu bukan berarti hanya ada satu pasangan calon itu saja, tapi harus ada kotak kosong itu sebagai alternatif suara bagi pemilih." 


Dengan demikian, daerah yang memiliki satu pasangan calon pun dapat tetap mengikuti pilkada serentak. Dia menekankan bahwa kotak kosong tetap lah sebuah pilihan politik, namun bukan pilihan yang ideal karena kemunculannya saat ini ini tak lepas dari tren "koalisi gemuk" di banyak daerah. Menurut Khoirunnisa fenomena kotak kosong merupakan kemunduran demokrasi. Yang seharusnya masyarakat bisa melihat adu gagasan, menjadi tidak ada. Ibarat kata mau menang secara cepat saja karena tren menunjukkan calon tunggal sering menang. 


“Jadi ya sudah, diborong saja dalam satu perahu besar. Dan ini bukan tiket kosong, pasti ada yang ditransaksikan [secara politik] dan itu akan kelihatan setelah kepala daerahnya terpilih,” lanjutnya.


Hal yang senada juga disampaikan Ali Shahab, pengamat politik dari Unair. Ali menjelaskan ada sejumlah faktor yang memicu fenomena ini. Bisa jadi calon yang diusung dianggap sebagai 'yang terbaik', namun bisa pula ini mencerminkan praktek 'kartel politik'.



“Artinya ada iming-iming yang lebih menarik, daripada saya bekerja keras mengeluarkan uang lalu ada iming-iming yang lebih menarik untuk bisa mendapatkan bagian, itu yang menggoda. Maju ke pemilihan itu ongkosnya sangat besar. Jadi semacam percuma maju ketika yang akan menang sudah diketahui". kata Ali.



Ali dan Khoirunnisa sama-sama mengatakan bahwa tren koalisi gemuk ini dipengaruhi oleh pilpres dan pilkada yang digelar pada tahun yang sama. Peta politik di level nasional yang kini dikuasai oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus tampak merembes ke daerah-daerah demi mencapai kemenangan politik yang sama.


“Dan ketika koalisi nasional merembes ke daerah, partai-partai lain agak ogah mencalonkan diri. Apalagi partai-partai yang tunduk dengan KIM Plus pasti ikut saja,” pungkas Ali.

Posting Komentar

0 Komentar