Kronologi Tewasnya Brigadir Jendral Mallaby


Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dikenal sebagai pertempuran paling nekat dan destruktif yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh pihak sekutu maupun pihak Indonesia.  Dengan dukungan 24.000 serdadu dan dilengkapi dengan persenjataan berat yang komplit dan modern. Terdidir dari 21 tank Sherman, 24 pesawat terbang pemburu dan beberapa pesawat pembom, serta 4 kapal destroyer dan 1 kapal cruiser. Mayor Jenderal E.C.Mansergh yakin bisa menguasai Surabaya dalam 3 hari. Tapi dugaan itu meleset 

pada 24 Oktober 1945, 5000 pasukan Brigade 49 di bawah komando Brigjend Aulbertin Walter Sothern Mallaby, tiba di pelabuhan Tanjung Perak. Sebagian terbesar adalah orang Gurkha, Nepal, yang terkenal brutal. Rencana awal, yang ditugaskan ke Jawa Timur adalah Divisi 5 (Fifth British-Indian Division), tetapi karena keterlambatan, masih tertahan di Malaya (Malaysia). Keesokan harianya, dimulai perundingan antara pimpinan Indonesia di Surabaya dengan pihak Sekutu. Pada saat yang sama, pasukan mereka masuk hingga ke pelosok kota, dan menempati berbagai lokasi dan gedung strategis sebagai pos pertahanan. Jauh dari kesepakatan awal, pasukan Inggris menduduki tempat dan bangunan strategis yang dijadikan sebagai pos pertahanan. 

Ketegangan antara pemuda Indonesia dengan tentara Inggris pun terjadi. Hal ini terjadi karena niat Inggris tidak hanya akan melucuti tentara Jepang, tetapi juga akan melucuti semua senjata pasukan/ laskar Indonesia di Surabaya dan sekitarnya. Para pejuang menganggap hal ini sebagai 'tantangan'. 

Tanggal 27 Oktober 1945 Ingris menyebarkan ribuan pamflet melalui pesawat terbang yang isinya memerintahkan kepada semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris. Ppamflet yang ditandatangnai Mayor Jendral  D.C. Hawthorn, Panglima Divisi 23, tersebut ditutup dengan ancaman: 'Persons seen bearing arms and refusing to deliver them to the allied forces are liabled to shot' (orang-orang yang kedapatan membawa senjata dan menolak menyerahkannya kepada tentara Sekutu akan ditembak di tempat). Penyebaran pamplet yang diiringi dengan penambahan paskan di beberapa pos pertahanan ini semakin menambah panas suasan Surabaya. Segala tindakan dan ancama Inggris membuat kemarahan rakyat memuncak dan memunculkan semangat memberontak.  

Minggu pagi tanggal 28 oktober 1945 suasana Surabaya tampak sepi. Para pemuda, anggota badan perjuangan, polisi, dan TKR telah bersiap-siap melaksanakan perintah perang dari komandan Divisi TKR, Jenderal Mayor Yonosewoyo, yang mulai berlaku sejak pukul 04.00. Perintah ini bertujuan untuk menyerbu pos-pos pasukan sekutu, semua pasukan dan komandokomando pasukan harus segera menyesuaikan diri. Kelompok staf beserta semua perlengkapannya harus keluar kota pindah ke jurusan Sepanjang. Pasukanpasukan Indonesia sewaktu-waktu harus siap menunggu komando menyerbu pos-pos pasukan sekutu yang terdekat. Hari itu juga dimulai serangan ke pos-pos pertahanan Inggris membuat pasukan dibawah komando Malaby itu terdesak hebat. 

Kekalahan pasukannya membuat Malaby sadar, brigade 49 tidak akan 'wipe out' tersapu bersih bila pertempuran terus dilanjutkan. Pada malam 28 Oktober 1945, Mallaby segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Namun menurut pihak sekutu,  hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya.  Akhirnya Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai insiden di Surabaya.

Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M.Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan pesawat militer Inggris dan bertemu Malaby di gubernuran. Mayjen Hawthorn, Panglima Divisi 23 Inggris, tiba esok pagi tanggal 30 Oktober dan langsung berunding dengan pihak Indonesia.  Tuntutan utama pihak Indonesia adalah pencabutan ultimatum penyerahan senjata kepada para sekutu. Sementara dari pihak sekutu mereka menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia.  Pada pukul 13-00 akhirnya didapat kesepakatan . Kedua belah pihak menyepakati untuk gencatan senjata dan mengakhiri pertempuran. 

Mallaby tampak sangat terpukul dengan kekalahan pasukannya di dalam kota. Ini terlihat dari sikapnya yang setengah hati waktu menyebarluaskan berita hasil kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Dari 8 pos pertahanan, tinggal dua pos yang masih terjadi tembak menembak yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio. 

Setelah berhasil menhentikan tembak-menembak di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung yang dikepung oleh ratusan pemuda. 

Para pemimpin Indonesia meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak. Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan hasil perundingan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam. Sementara Mallaby tetap di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. 

Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.

Letnan Jenderal Phillip Christison mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan Pembunuh Brigadir Jenderal A.W.S.Mallaby sekaligus menyerahkan semua senjata illegal mereka kepada Sekutu. Jika sampai tanggal 9 November 1945 sore  ultimatum itu tidak dipatuhi, kota Surabaya akan dibombardir dari darat, laut dan udara pada tanggal 10 November 1945 jam 06.00 pagi. Pihak Inggris mengirim Divisi ke-5 India di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Mansergh dengan membawa 24.000 serdadu dan dilengkapi dengan persenjataan berat yang komplit dan modern. Terdidir dari 21 tank Sherman, 24 pesawat terbang pemburu dan beberapa pesawat pembom, serta 4 kapal destroyer dan 1 kapal cruiser. Christison dan Mansergh yakin bisa menguasai Surabaya dalam 3 hari. Tapi dugaan itu meleset. Arek-arek Surabaya menyambut dengan perang kota selama 100 hari, kemudian mundur ke luar kota Surabaya. 

Source:Biografi KH. Hasyim Asy'ari, Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri, Museum Kebangkitan Nasional, kemendikbud, 2017


Posting Komentar

0 Komentar