Nama dan Identitas Melayu

 

Replika dari Istana Kesultanan Melaka, yang dibangun berdasarkan informasi dan data yang diperoleh dari Sejarah Melayu. Dokumen sejarah ini mengacu pada konstruksi dan arsitektur istana selama era Sultan Mansur Shah, yang memerintah dari 1458 hingga 1477.

Istilah "Melayu" memiliki banyak makna, tergantung sudut pandangnya, seperti bahasa, ras, dan suku bangsa. Kata "Melayu" juga merujuk pada masyarakat yang beragama Islam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , "Dunia Melayu" adalah wilayah kepemimpinan masyarakat yang mendukung kebudayaan Melayu, juga dikenal sebagai Tanah Melayu.

Mengutip Dr. Faris A. Noor, Teguh Setiawan dalam artikelnya di Republika (2 November 2011), istilah Tanah Melayu digunakan oleh Hang Tuah untuk menyebut wilayah seperti Tanah Terengganu, Tanah Brunei, Tanah Malaka, dan Indrapura. Pedagang Melaka menyebut Deli sebagai Tanah Melayu, sementara William Marsden menyebut penduduk Sumatra sebagai orang Melayu.

Dalam catatan sejarah Dinasti T'ang dari China, yang dikutip Sinar (2002), ada sebuah kerajaan di Sumatera bernama "Mo-lo-yue" pada tahun 644-645 Masehi. Seorang tokoh dari kerajaan ini pernah tinggal di Sriwijaya ("She-li-fo-she") selama enam bulan untuk belajar bahasa Sansekerta. Dalam perjalanan keduanya ke Sumatera, I-Tsing menemukan beberapa arca yang bertuliskan bahasa Melayu kuno.

Menurut Des Casparis, yang dikutip Sinar (2002), pada akhir abad ke-11 hingga ke-14 Masehi, ditemukan prasasti di Karang Berahi (Jambi) yang menggunakan bahasa Melayu. Di belakang arca tersebut terdapat prasasti yang ditulis oleh Raja Adityawarman dari Sriwijaya dalam bahasa Melayu kuno. Penemuan ini berada di tepi Sungai Musi, Palembang, pada abad ke-7 Masehi. Selain itu, prasasti berbahasa Melayu juga ditemukan di sekitar Candi Biara di Padang Lawas Utara (Kabupaten Paluta), Sumatera Utara, yang ditemukan oleh Stein Callenfels pada tahun 1930.

Menurut sejarawan India, RC Majumdar, nama "Melayu" berasal dari salah satu suku India yang bernama "Malaya". Orang Yunani menyebut mereka "Malloi". Kata ini juga berasal dari nama gunung "Malaya" yang menjadi sumber rujukan Sandalwood dalam kitab Purana di pegunungan India.

Legenda dan Sejarah Melayu

Menurut legenda Melayu Minangkabau, leluhur mereka berasal dari Sang Sapurba (orang India) yang turun ke Bukit Seguntang bersama dua saudaranya. Setelah Kerajaan Sriwijaya di Palembang runtuh, keturunan raja mereka yang bernama Parameswara hijrah ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kerajaan Melaka pada abad ke-14 Masehi. 

Parameswara kemudian mengunjungi Pasai (Aceh) dan memeluk agama Islam. Dari situ, orang Melayu yang beragama Islam mulai menyebarkan agama mereka melalui perdagangan dan perkawinan antarsuku, membentuk "budaya Melayu". Karena itu, definisi Melayu yang baru terbentuk, tidak lagi terikat pada faktor darah tetapi dipersatukan oleh budaya, agama, dan bahasa Melayu yang sama.

Hukum keluarga Melayu menganut sistem parental, di mana kedudukan ibu dan ayah setara. Pengertian "Melayu" semakin berkembang karena diperkenalkan oleh para pedagang Nusantara. Dalam masyarakat Melayu, terdapat ungkapan "masuk Melayu" yang berarti "masuk Islam". Merujuk pada sistem kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur, seperti yang dijelaskan oleh Sinar (2002), pernah ada kerajaan baru di Deli yang menganggap raja sebagai wakil Allah di dunia (Zilullah fi’l ardhi). Oleh karena itu, kedaulatan raja sangat dihormati. Siapa pun yang menentang raja dianggap durhaka dan dihukum serta hartanya disita. Sehubungan dengan itu, ada pepatah yang populer di kalangan masyarakat Melayu: "raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah".

Orang Melayu Sumatera Utara

Orang Melayu di Indonesia tinggal di sepanjang pantai Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Mereka dikenal sebagai penganut Islam yang taat (Geertz, H. 1981). Biasanya, mereka dinamai sesuai dengan wilayah atau daerah mereka, seperti Melayu Betawi di Jakarta, Melayu Riau di Riau, Melayu Jambi di Jambi, dan Melayu Palembang di Palembang. Namun, hanya orang Melayu di Sumatera Utara yang disebut sebagai "Orang Melayu" (Fachruddin, 1998).

Pemerintah Indonesia mengakui orang Melayu sebagai salah satu dari delapan kelompok etnik pribumi di Sumatera Utara. Populasi mereka sekitar 15-20% dari total penduduk Sumatera Utara. Orang Melayu Sumatera Utara berbeda dari orang Melayu di daerah lain dalam hal dialek, adat, resam, dan pengalaman sejarah. Mereka berasal dari pantai Timur Sumatera Utara, dari perbatasan Aceh (Tamiang) hingga perbatasan Riau.

Budaya dan Adat

Budaya masyarakat Melayu Sumatera Timur (Sumatera Utara) memiliki berbagai upacara adat yang dibagi menjadi empat bidang utama, yang mengatur kehidupan dunia dan akhirat masyarakat Melayu. Penggolongan adat tersebut adalah:

1. Adat yang Sebenar Adat: Hukum alam yang diciptakan oleh Allah, seperti api yang membakar, lesung yang berdedak, dan matahari yang terbit di timur.

2. Adat yang Diadatkan: Sistem pemerintahan yang menjaga keutuhan sosial.

3. Adat yang Teradat: Kebiasaan yang awalnya bukan adat, tetapi karena sering dilakukan menjadi adat, mencerminkan perubahan budaya sesuai tuntutan zaman.

4. Adat-istiadat: Upacara seperti jamu laut, melepas lancang, tari gebuk, melenggang perut, mandi safar, nikah berkhitan, dan lain-lain.




Posting Komentar

0 Komentar