Istana Niat Lima Laras


Cagar Budaya didefinisikan sebagai susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap (PP nomor 1 Tahun 2022). Istana Niat Lima Laras masuk dalam daftar Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) dengan nomor Registrasi Nasional PO2014110800030. Pada awal 2024 lalu, istana yang berada di Kecamatan Nibung Hangus kabupaten Batubara ini resmi menjadi cagar budaya lewat surat keputusan Pj. Bupati Batubara nomor 406/disporabudpar/2024.

Istana yang telah berusia 112 tahun ini merupakan salah satu istana yang selamat dari Revolusi Sosial Sumatera Timur tahun 1946. Dibangun oleh Datuk Muhammad Yudha (Mat Yudha) bergelar Datuk Sri Diraja, Datuk ke-11 Kedatukan Lima laras yang berkuasa antara tahun 1883-1919. Pembangunannya diperkerakan menelan biaya sekitar 150.000 Gulden yang dimulai tahun 1907 dan selesai tahun 1912 dengan mendatangkan ahli-ahli bangunan dari Cina. Arsitektur bangunannya merupakan perpaduan gaya Eropa, Cina dan Melayu. 

Istana ini sempat dikuasai oleh Jepang tahun 1942, lalu ditinggalkan oleh ahli waris pada masa revolusi sosial tahun 1946. Pernah ditempati oleh Angkatan Laut Republik Indonesia tahun 1948, di bawah komando Mayor Dahrif Nasution. Setelah suasana kembali kondusif, ahli waris kemudian kembali menempati istana. Namun pada tahun 1970an, ditinggalkan karena rusak parah dan membutuhkan renovasi total hingga saat ini. 

Status kepemilikan istana niat lima laras masih berada di tangan ahli waris, dan saat ini berada dalam pengawasan Datuk Muhammad Azminsyah (76 tahun). Sehari-harinya, beliau mengurus dan menjaga kebersihan kompleks istana. Selain itu, beliau juga merupakan Juru Pelihara yang ditunjuk oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Aceh dengan SK No. 0104/F7.9/KP.04.00/2022

Dibangun Karena Nadzar

Datuk Matyoeda sering melakukan perdagangan hasil bumi berupa kopra, damar, dan rotan ke Malaka, Malaysia, Singapura dan Thailang. Kemudian muncul kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda berupa larangan terhadap para raja untuk mengekspor hasil buminya. Larangan ini sebagai upaya monopoli Belanda dalam perdagangan di wilayah tersebut. Bila ada yang melanggar, maka armada beserta isinya akan ditarik paksa oleh pemerintah Hindia Belanda. Datuk Mat Yuda menentang larangan tersebut dan tetap melakukan pelayaran sambil menghindar dari patroli Pemerintah Hindia Belanda. Hingga suatu saaat, timbul niat atau nazar dari Datuk Mat Yuda untuk membangun sebuah Istana apabila dapat berhasil dengan selamat. Dan ternyata Datuk Matyoeda dapat berlabuh di pelabuhan Tanjung Tiram dan juga memiliki untung besar dari berdagang hasil bumi

Pada masa kekuasaan Datuk Mat Yuda, pemerintah kolonial memberlakukan larangan untuk melakukan pelayaran ke luar daerah, terutama untuk melakukan perdagangan antar pulau. Selain untuk mempermudah pengawasan terhadap wilayah koloni mereka, ini juga ditujukan untuk mengatur pendapatan dari cukai serta untuk memonopoli perdagangan rempah yang ada di seluruh koloni Hindia Belanda. Bila ada yang melanggar, maka armada beserta isinya akan ditarik paksa oleh pemerintah Hindia Belanda

Meski demikian, banyak yang mengambil resiko dengan melanggar aturan tersebut, termasuk diantaranya adalah Datuk Mat Yuda. Sebagai saudagar besar, beliau sering melakukan perdagangan hasil bumi berupa kopra, damar, dan rotan ke Malaka, Malaysia, Singapura dan Thailand.

Pada suatu saat, Datuk Mat Yuda memiliki niat (nazar). Seandainya beliau berhasil memperoleh keuntungan yang cukup, beliau akan membangun rumah yang besar untuk keluarganya. Ternyata pada pelayaran ke Penang, kapal beliau dapat pulang dengan selamat dan mendapat keuntungan besar.

 Kondisi Istana Kini

Kondisi Istana Niat Lima Laras saat ini cukup memprihatinkan. Cat yang ada pada dinding beton sudah terkelupas, dan cat-cat pada dinding kayu, jendela, dan pintu sudah memudar. Beberapa tiang sudah mengalami pengikisan, namun sepertinya masih kuat untuk menahan bangunan yang ada di atasnya.

Bagian dinding, jendela, dan pintu yang terbuat dari kayu hanya tinggal 40% saja yang masih berada dalam kondisi baik. Selebihnya ada yang rusak, ada yang sudah tidak terpasang lagi di tempatnya, ada yang sudah rusak namun masih terpasang, dan ada juga yang masih berfungsi dengan baik namun sudah lapuk. Terlihat di beberapa bagian istana, penuh dengan coretan-coretan yang merusak nilai estetika.

Kondisi keterancaman Istana Niat Lima Laras datang dari dua faktor, yakni faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam terdiri atas tiga, yakni cuaca panas maupun hujan yang merusak struktur bangunan sedikit demi sedikit. Kedua, udara bercampur air laut yang mengandung garam dapat berpotensi untuk merusak struktur bangunan melalui proses oksidasi. Ketiga, bencana alam seperti likuifaksi, gempa bumi, dan tsunami. Sementara itu, keterancaman dari sisi manusia yakni para pengunjung yang usil dan merusak (vandalisme). Ketiga adalah serangan rayap, yang merusak struktur kayu seperti tiang, dinding, jendela, pintu, lantai, dan sebagainya.

Tahun 1981, istana ini pernah direnovasi oleh pemerintah melalui Kanwil Depdikbud. Kemudian, renovasi dilakukan pada tahun 1996 oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi D. I. Aceh dan Sumut. Renovasi tersebut tidak dilanjutkan kembali di tahun berikutnya, kemungkinan karena dampak krisis moneter pada 1997 dan 1998. Setelah itu, belum pernah ada pemugaran atau renovasi kembali, khususnya dari pemerintah. Kemudian pada 2015, istana ini direnovasi oleh PT. Inalum. Renovasi dilakukan untuk membangun kembali kamar mandi raja dan dapur di bagian belakang istana. Renovasi ini menghabiskan biaya sebesar seratus juta rupiah, yang disalurkan melalui program Corporate Social Responsibility atau CSR.

Hingga saat ini, bangunan istana lima laras memang belum dapat dimanfaatkan secara optimal, baik sebagai objek cagar budaya maupun sebagai bagian dari potensi wisata berbasiskan budaya. Tetapi kawasan istana sering difungsikan sebagai lokasi kegiatan simbolis oleh banyak pihak, khususnya yang berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan Melayu di Kabupaten Batubara.

Di sisi lain, Datuk Azminsyah juga tidak merasa keberatan jika kompleks istana dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan. Namun dengan syarat, kegiatan tersebut tidak melibatkan aktivitas yang dapat merusak kondisi fisik bangunan.

Setiap hari ada masyarakat sekitar yang berkunjung ke istana, baik pagi, siang, sore, maupun malam hari. Meski tidak semua dari mereka memiliki maksud untuk belajar tentang kebudayaan dan sejarah istana, tetapi kehadiran mereka menjadi indikator bahwa istana niat lima laras masih diakui keberadaannya oleh masyarakat sekitar.



Tulisan ini disarikan dari tiga sumber utama:
-Faishal,Muhammad. "Situs-Situs Bersejarah di Batubara (Studi Kasus Keberagamaan Masyarakat Terhadap Situs-Situs Bersejarah." Laporan Penelitian, UIN Sumatera Utara, 2020.
-Putri, Indah Rezeki., Achiriah dan  Azhar, Anang Anas. "Arsitektur Bangunan Istana Niat Lima Laras di Kabupaten Batu Bara" Journal of History and Cultural Heritage, vol. 1, Issue 2, 2020.
-Tanjung, Rahmadsyah. "Sejarah Perkembangan Seni Pada Bangunan Istana Lima Laras Abad Ke-19." Journal of Education and Social Analysis, Volume 3, No 1, Januari 2022.  

Posting Komentar

0 Komentar