Mogat Siamo hampir putus asa mendapati usahanya sia-sia. Hari ini pohon-pohon ditebang tapi besok tumbuh lebat kembali, seolah tak pernah ditebang.
"Kalau begini keadaannya, bagaimana kita bisa bertempat tinggal dan bercocok tanam?" Keluhnya. Ia dan rombongan telah berkali mencoba menebang pohon untuk membuka hutan Perupuk. setelah beberapa waktu di berada di tempat pembuangannya.
Suatu malam, Aman sampurno, anak sulung Mogat Siamo mendapat petunjuk lewat mimpi: Hutan itu bisa dibuka dan ditempati dengan syarat menyembelih ayam putih yang punya anak hanya seekor setahun (ayam setaun siko) dan pulut kuning sepinggan. Keesokan hari Aman Sampurno meberitahukan tentang mimpi itu kepada ayahnya. Tapi Mogat Siamo tidak begitu yakin dengan apa yang dikatakan putranya
Aman Sampurna gemar melakukan olah batin, bertirakat, meratib (berzikir) dari awal malam hingga menjelang subuh. Suatu malam ketika sedang meratib, ia mengalami keadaan 'fana' (trance). Ia bangkit dari duduknya dan berjalan beberapa langkah. Setiap kali melangkah, kakinya terbenam ke dalam tanah hingga sebatas lutut. Kemudian ia duduk kembali melanjutkan zikir. Tak lama kemudian, tubuhnya pun terbenam ke dalam tanah hingga sebatas dada lalu muncul kembali. Dari bibirnya terucap kata-kata: "Perupuk ini bisa ditunggu tapi dengan syarat, makan ayam putih 'siko setaun' (seekor setahun) dan pulut kuning sepinggan."
Melihat kejadian yang penuh aura mistis dan daya magis tersebut, Mogat Siamo merasa yakin itu adalah sebuah petunjuk. Keesokan harinya mereka pergi menemui Datuk Bogak, meminta petunjuk tentang keberadaan ayam putih 'siko setaun' itu. Setelah mendapat petunjuk dari Datuk Bogak, akhirnya didapatlah ayam keramat yang disyaratkan. Ayam tadi disembelih dan dimakan bersama pulut kuning sepinggan dalam acara kenduri kampung. Setelah syarat-syarat sudah dipenuhi, akhirnya hutan Perupuk pun dapat dibuka dan untuk wilayah pemukiman dan bercocok tanam.
Waktu terus berjalan. Kampung Perupuk yang dibuka oleh Mogat Siamo tampak mulai ramai. Banyak orang yang datang untuk bertempat tinggal dan bercocok tanam. Semakin banyak pula orang yang berdagang. Mogat Siamo menunjuk anak keduanya, Umo sebagai kepala kampung. Putra ketiganya, Nayan, ditunjuk sebagai Khatib yang mengurus masalah-masalah agama. Sementara Aman Sampurno, putra sulungnya ditunjuk sebagai Datu atau orang sakti. Tugas utamanya sebagai penjaga kemanan kampung dari gangguan makhluk kasat mata maupun tidak kasat mata. Selain itu ia juga menjadi tabib atau penyembuh bila ada penduduk yang sakit. Sedangakan dua putrinya, Ubay dan Jilay, dinikahkan kepada dua orang pemuda dari Tanjung Limau Purut dan menetap disana.
Suatu hari Aman Sampurno berjalan menuju Utara. Di ujung jalan ia berjumpa dengan seorang wanita tua yang diampingi dua ekor harimau. Aman Sempurno tidak pernah melihat atau berjumpa dengan wanita tua itu. Aman Sampurno menghatur sembah dan memperkenalkan diri. Kemudian diketahui Wanita tua itu bernama Nek Gebiah. Dua ekor harimau besar itu adalah pengawalnya dari bangsa jin. Nek Gebiah adalah penunggu dan penjaga hutan Perupuk.
Nek Gebiah mengahadiahkan seekor harimaunya kepada Aman Sampurno untuk menjaga kampung Perupuk. Aman Sampurno mengucapkan terimakasih, menghatur sembah dan mohon diri.
Setiap tahun, Aman sampurna memberi makan harimau penjaga kampung pemberian Nek Gebiah tersebut dengan ayam putih siko setaun dan pulut kuning sepinggan. Konon, harimau dari alam gaib itu akan mengaum atau menampakkan bila ada kerusuhan atau huru-hara di kampung. Di era modern sekarang ini, tindakan memberi makan harimau itu tidak pernah dilakukan lagi. Karena bisa mengarah ke perubatan Syirik.
Nek Gebiah dimakamkan di kompleks pekuburan lama di dekat Pekan Perupuk sekarang ini. Di masa Pengulu Uyup, ada sekelompok orang ingin membuat tempat pemujaan di kuburan Nek Gebiah. Tapi Pengulu Uyup melarang rencana atau tindakan untuk mengkeramatkan apalagi memuja kuburan tersebut.
Sebelumnya: (Hikayat Mogat Siamo: Asal Mula Kampung Perupuk (Bagian 1)
Catatan Penulis:
1. Foto: Ilustrasi, Inset: Foto Pak Kuini (Shohibul Hikayat)
2. Hikayat ini merupakan adaptasi berdasarkan hasil wawancara dan bincang-bincang dengan Bapak Kuini (74 tahun) di kediaman beliau di desa Perupuk, Kecamatan Lima Puluh Pesisir Kabupaten Batubara pada hari Kamis, 5 Desember 2024.
3. Hutan bertali menggambarkan akar-akar dari pohon-pohon tua yang menjulur dan menjalar seperti tali yang melilit ranting dan dahan pohon di sekitarnya.
4. Pelafalan 'Mogat Siamo' berdasarkan pendengaran penulis dari apa yang dikatakan narasumber. Terdapat juga pelafalan yang berbeda dari beberapa orang yang pernah penulis dengar. Semuanya merujuk pada tokoh yang sama, antara lain: 'Mogat Silamo', Mogat Saomo dan Mogek Siomo'.
5 Ada dugaan bahwa tokoh Mogat Siamo dan Megat Sri Rama, adalah orang yang sama. Dugaan ini didasarkan dari Kesamaan nama dan jalan cerita. Megat dalam lidah orang Melayu Batubara berubah menjadi 'Mogek', ataupun 'Mogat'. Begitu juga kata 'Sri Rama' berubah pelafalannya menjadi 'Siamo', 'Silamo', ataupun 'Saomo'. Kesamaan kisah antara tokoh Mogat Saomo dan Megat Sri Rama terjadi pada bagian 'tragedi buah nangka'. Yaitu tentang istri Megat Sri Rama (Johor) maupun Mogat Siomo (Perupuk) yang memakan buah nangka milik raja, hukuman pancung dan membelah perut, hingga pembalasan dendam oleh kedua tokoh itu terhadap raja yang dilakukan dengan cara yang kurang lebih sama. Kisah pembunuhan Sultan Mahmud Marhum di Julang oleh Megat Sri Rama sangat dikenal di dunia Melayu. Namun penyemaan kedua tokoh ini baru sebatas dugaan atau kemungkinan berdasarkan kesamaan nama dan kisah. Perlu kajian atau penilitian lebih lanjut tentang hal itu.
0 Komentar